A

Rabu, 07 April 2010

Ringkasan Studi Hadits

BAB I HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN
Dari sekian banyak pengertian ilmu hadits menurut para Ulama, dapat disimpulkan menjadi 3 :
a. Ilmu hadits : ilmu tentang periwayatan segala sesuatu yang berhubungan dengan Rasulullah. Baik mengenai perkataan beliau, perbuatan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatan itu tidak dilarang olehnya), atau sifat-sifat maupun tingkah laku Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk tingkah lakunya, sebelum beliau diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya, atau menukil / meriwayatkan apa saja yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in. Pengertian ini dikenal dengan istilah Ilmu Riwayatu Al-Hadits.



b. Ilmu hadits ialah ilmu tentang sistem atau metode untuk keadaan sanad-sanad hadits dan keadaan rawi-rawi. Ilmu seperti ini dikenal dengan Ilmu Ushul Hadits.
c. Ilmu hadits : ilmu tentang pembahasan terhadap makna-makna dan maksud-maksud yang dikandung oleh lafadz-lafadz hadits berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab, dan aturan-aturan syariah, serta kesesuainnya dengan tingkah laku Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ilmu hadits pertama bertujuan untuk menjaga kemurnian sunnah Al-Nabawiyah, dan untuk mempubilaksikannya di kalangan umat Islam, sekaligus menjaga keabadian sunnah. Sedangkan pengertian yang kedua bertujuan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan hadits guna membedakan antara yang shahih dengan yang tidak. Kemudian, pengertian yang ketiga bertujuan untuk mengetahui hukum-hukum syara’ dan penjelasan terhadap Al Quran, serta untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga kita dapat bertingkah laku sebagaimana perilaku beliau agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut bahasa, wahyu ialah mamberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat. Sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang syariat-syariat Tuhan dan berita-berita atau cerita-cerita dengan cara yang sangat samar tetapi meyakinkan kepada Nabi atau Rasul, bahwa segala sesuatu yang diterimanya adalah dari Allah SWT.
Dalam Al Quran Allah memberitahukan tentang cara-Nya menyampaikan wahyu kepada Nabi-Nya, tersebut dalam QS. Asy-Syura ayat 51 :
Artinya : dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah di dalam ayat tersebut, maka wahyu terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Pemberitahuan Allah melalui ilham tanpa perantara, seperti mimpi Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih Nabi Ismail a.s.
2. Mendengar firman Allah melalui tabir, seperti yang terjadi pada Nabi Musa a.s. ketika menerima kenabiannya.
3. Dengan perantara Malaikat Jibril, dibagi menjadi 2 :
a. Nabi dapat melihat wujud Malaikat Jibril, terbagi menjadi 2 pula :
- Malaikat Jibril menampakkan wujudnya yang asli, namun hal ini jarang terjadi.
- Malaikat Jibril menjelma sebagai manusia.
b. Nabi tidak dapat melihat Malaikat ketika menerima wahyu, namun beliau masih dapat mendengar suara Malaikat yang menyerupai suara lebah atau dentang bel. Dalam hal ini hanya Allah yang mengetahui hakekatnya.
Bagi para sahabat yang kebetulan menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi, hanya melihat secara fisik Nabi. Ciri-ciri umum ketika Nabi mendapat wahyu, seperti bertambah beratnya badan beliau dan mengeluarkan keringat sekalipun udara di sekitar sangat dingin.
Di antara tugas Rasulullah adalah menjelaskan hal-hal yang masih global di dalam Al Quran. Banyak ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih mendalam. Seperti dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk sholat, namun tidak diberitahukan tata caranya. Di sinilah letak fungsi hadits, maka Rasul menjelaskan tata cara shalat, melalui hadits.
Al Quran dan Hadits merupakan pedoman hidup. Dalam sebuah sabdanya, Nabi memerintahkan kita untuk berpegan teguh pada Al Quran dan Hadits apabila ingin hidup bahagia di dunia dan akherat. Apabila kita beriman kepada Allah, Kitab Allah, dan Rasul-Nya, maka kita juga harus menerima hadits yang hakekatnya juga wahyu Allah. Namun melalui perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya Rasulullah SAW.
BAB II HADITS QUDSI
Ada dua pendapat tentang kususukan hadits Qudsi:
a. Hadist Qudsi termasuk firman Allah bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja. Alasannya:
1. Hadist Qudsi selalu disandarkan kepada Allah.
2. Hadist Qudsi selalu memuat ضَمِيْرُ ا لْمُتَّكَلِّمُ yaitu نَااَ dan yang dimaksud adalah Allah.
3. Bahwa sanad Hadits Qudsi itu sampai kepada Allah melalui Nabi, sedangkan sanad Hadits biasa hanya sampai kepada Nabi saja.
Cara meriwayatkan Hadist Qudsi itu dengan:
قَا لَ ا لنَّبِىُّ صَلَّى ا للّهُ عَلَيْهِ و سَلَّمَ فِيْمَا يَرْ وِ يْهَ عَنْ رَ بِّهِ
Atau
قَا ل تَعَا لَى فِيْمَا رَوَا هُ عَنْهُ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّ ا للّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
Menurut pendapat pertama ini, meskipun Hadist Qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi menurut mereka, Hadist Qudsi tidak mempunyai status atau kedudukan yang sama dengan Al-Qur’an; karena Al-Qur’an diterima secara mutawattir, sedangkan Hadist Qudsi pada umumnya diterima secara Ahad atau perorangan seperti Hadist Nabawi. Karena itu kedudukan Hadist Qudsi tidak sama dengan Al-Quranul Karim.
b. Hadist Qudsi itu lafalnya dari Nabi sendiri, seperti hadits lainnya. Yang berpendapat demikian antara lain Abu Al-Baqa dan Ath-Thibi.
Menurut Amir Humaiduddin perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadist Qudsi ada enam yaitu :
a. Al-Qur’an adalah mu’jizat, sedang Hadist Qudsi tidak menjadi mu’jizat.
b. Shalat itu baru dapat sah dengan Al-Qur’an, tidak demikian halnya Hadist Qudsi.
c. Orang yang menentang Al-Qur’an menjadi kafir, berbeda dengan Hadist Qudsi penentangnya tidak kafir.
d. Al-Qur’an menggunakan perantara Jibril ra antara Nabi SAW dan Allah Ta’ala, berbeda dengan Hadist Qudsi.
e. Al-Qur’an wajib lafalnya dari Allah Ta’ala, berbeda dengan Hadist Qudsi yang lafalnya boleh dari Nabi SAW.
f. Al-Qur’an hanya disentuh dengan keadaan suci, sedang Hadist Qudsi boleh disentuh oleh orang yang hadats.
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
a. Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ).
b. Masa pembatasan riwayat ( masa khulafa’ Ar-rasyidin : 12-40 H ).
c. Masa pencarian hadits (generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41-akhir abad 1 H)
d. Masa pembukuan hadits ( permulaan abad 2 H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad 3 H ) sampai selesai.
f. Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad 4 H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).
Dapat saya simpulkan tentang sejarah singkat perkembangan hadits pada perode-periode tersebut :
a. Perkembangan Hadits Periode Pertama (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergaul dengan para sahabat tanpa ada larangan yang mempersulit mereka. Rasul pun menjadi panutan dan pedoman dalam hidup mereka.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah:
 Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
 Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
 Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
Akan tetapi, Rasul juga melarang penulisan hadits. Adapun faktor-faktor utama pelarangan penulisan dan pembukuan hadits adalah :
 Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
 Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
 Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
b. Perkembangan Hadits Periode Kedua (Khulafa’ Ar-Rasyidun)
Pada masa ini para sahabat semakin mudah meriwayatkan hadits dan akhirnya dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits.
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya.
Hal itu disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
Berbeda dengan masa Ali bin Abi Thalib. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
c. Perkembangan Hadits Periode Ketiga
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin.
Karena luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan, memicu munculnya hadits-hadits palsu meskipun pembukuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
d. Perkembangan Hadits Periode Keempat
Sesudah Islam berkembang dan bidah pun telah bertebaran pada masyarakat, sedang para sahabat telah berpindah ke kota lain, meninggal dalam peperangan dan melemahnya hafalan hadist maka timbulah hasrat untuk menulis hadist dan membukukannya. Dipelopori oleh Umar bin Abdil Aziz yang menghimbau untuk mengumpulkan hadist yang terdapat pada para ulama tinggal dikota-kota tersebut. Dalam pembukuan hadist tersebut, mereka meletakkan hadits yang ada hubungannya dalam satu bab. Kemudian mengumpukan hadist tersebut dalam mushannaf dan mencampur antara perkataan sahabat dan fatwa tabi’in.
e. Perkembangan Hadits Periode Kelima
Para ulama dalam periode ini mempunyai tiga jalan dalam usaha untuk membukukan hadits :
 Mengumpulkan segala kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadist baik yang mengenai pribadi pribadi ahli hadits maupun mengenai matan hadits itu sendiri.
 Mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat baik hadits itu sahih ataupun tidak.
 Mengikuti kitab fiqih dengan diberi bab.
f. Perkembangan Hadits Periode Keenam
Pada periode ini, para Ulama mengumpulkan hadits dari berbagai kitab dan menklasifikasikannya menjadi tema-tema tersendiri.
g. Perkembangan Hadits Periode Ketujuh
Para Ulama dalam massa periode ini, tekun memperhatikan hadist pada periode lalu. nertibkan kitab itu, mentahzipkan hadist itu dan memilih dan mentakhrij-kan. Maka jalan yang mereka tempuh sebagai berikut:
1. Menyusun kitab tambahan.
2. Menyusun kitab jami’ yang umum dengan mengumpulkan isi dalam satu kitab dari beberapa kitab.
3. Mengumpulakan hadist hukum.
4. Menyusun kitab-kitab takhrij bagi hadits yang terdapat dalam sebagian kitab. Hal ini dilatarbelakangi karena dalam penyebutannya tanpa menerangkan hadist itu di ambil.
5. Menyusun kitab takhrij bagi hadis yang berkembang di masyarakat. Dilatarbelakangi oleh banyaknya hadist seperti halnya sebagai pepatah yang ramai di masyarakat.
6. Menyusun kitab-kitab atrahaf.
7. Mensyarahkan dan memukhtsabarakan kitab. Diantaranya untuk mengumpulkan hadist dan menertibkannya.
BAB IV MACAM-MACAM KITAB HADITS
1. Kitab-kitab yang mengumpulkan Shahih Al Bukhari dan Muslim, seperti Al Jami’ Bainash Shahihaini, susunan Muhammad ibn Abdillah Al Jauzaqy.
2. Kitab-kitab yang mengumpulkan isi kitab enam, seperti Tajridus Shihah, susunan Ahmad ibn Razin As Sarqhasthy.
3. Kitab-kitab jami’ yang lengkap, seperti Mashabihus Sunnah, susunan Al Baghawy.
4. Kitab-kitab hadits hukum, seperti As Sunan, susunan Ad Daraquthny.
5. Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib (hadits yang menerangkan keutamaan amal, menggemarkan kita untuk beramal dan menjauhkan diri kita dari perbuatan-perbuatan yang terlarang), diantaranya Riyadlus Shalihin, susunan Al Imam An Nawawy.
6. Kitab-kitab takhrij (kitab yang menerangkan derajad-derajad hadits yang terdapat dalam berbagai tafsir), seperti Takhrij Ahaditsil Kasysyaf, yang diusahakan oleh Jamaluddin Al Hanafy, dimabil dari tafsir Al Kasysyaf.
7. Kitab-kitab yang membukukan hadits-hadits qudsy seperti Al Imam Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya Al Kalimuth Thaiyib.
8. Kitab Mustadrak (Kitab yang membukukan hadits Shahih yang tidak dibukukan oleh Al Bukhary dan Muslim dalam buku shahihnya), seperti Al Mustadrak susunan Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Hamdawaih Al Hakim An Naisabury, yang terkenal dengan nama Ibnul Baiyi’.
9. Kitab Mustakhraj (Kitab yang mengambil hadits dari sebuah kitab ulama hadits, dari kitab Al Bukhary seumpamanya, lalu sebut menyebut satu persatunya dengan sanadnya sendiri dari selain jalan Al Bukhary atau diatasnya lagi). Diantara kitab mustakhraj Al Bukhary, ialah: Al Mustakhraj, susunan Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdillah Al Ashbahany (430 H).
10. Kitab-kitab hadits adzkar: seperti Al Adzkar, susunan Ibnu Taimiyah.
11. Kitab penunjuk hadits, seperti Miftah Khusnuizz Sunnah yang diusahakan oleh Prof. A. J. Winsink yang sudah disalin dalam bahasa arab oleh ‘Al Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi. Dalam kitab ini diisyaratkan kepada hadits-hadits yang terdapat dalam 14 buah kitab, yaitu:
 Shahih Al Bukhary
 Shahih Muslim
 Sunan Abu Daud
 Jami’At Turmudzy
 Sunan An Nasa-y
 Sunan Ibnu Majah
 Sunan Ad Darimy
 Muwaththa’ Malik
 Musnad Zaid Ibn ‘Ali
 Musnad Abu Daud Ath Thayalisy
 Musnad Ahmad
 Thabaqat Ibnu Sa’ad
 Sirah Ibnu Hisyam
 Maghazi Al Waqidy.
 Kitab athraf, seperti Athraful ‘Asyrah yang dinamai Ithaful Maharah bi Athrafil ‘Asyrah, karangan Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany.
Penyusunan kitab kitab ulumul hadits dirintis pada pertengahan abad keempat hijriyah. Kemudian mereka menghimpun keterangan keterangan yang berserakan dan melengkapinya dengan berlandaskan keterangan ulama-ulama lain dan diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya.lalu keterangan –keterangan itu diberi komentar dan digali hukumnya.
Oleh karena itu mulai tersusunlah kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode berikutnya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
Al-Muhaddist Al –Fasil Baina Ar –rawi Al-Wa’I , karya Al Qodhi Abu Muhammad Ar-Rahmahurmuzi Al-hasan bin Abdurrahman bin Khalaq (Wafat tahun 360 H)Kitab ini merupakan kitab terbesar dalam bidangnya sampai saat itu.Pembahasannya mencakup tata tertib rawi dan muhadits,teknik penyampaian dan penerimaan hadits,kesungguhan para ulama dalam mengemban ilmu ini ,dan hal-hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadits. Sebenarnya kitab ini termasuk kitab Ulumum Al Hadits.
BAB V KUANTITAS HADITS
Hadits mutawatir merupakan sekumpulan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah tiap tingkatannya. Syarat dari hadits mutawatir adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan haruslah dapat ditangkap oleh panca indera.
2. Diriwayatkan sejumlah rawi yang banyak
3. Adanya jumlah yang sama banyak tiap tingkatan menunrut kebiasaan
4. Mustahil bersepakat bohong.
Macam – macam hadits Mutawatir:
 Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi ialah hadits mutawatir yang lafal dan makna haditsnya sama atau hampir bersamaan.
 Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah beberapa hadits yang bisa jadi riwayatnya tidak mutawatir. Namun jika riwayat-riwayat tersebut dikumpulkan terdapat satu makna yang sama.
 Mutawatir ‘Amali
Perbuatan dan pengalaman syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi SAW secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti olah para sahabat adalah mutawatir ‘amali.
Sedangkan pada hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadits mutawatir.
Macam – macam hadits ahad:
 Hadits masyhur (Hadits mustafidah)
Hadits masyhur atau mustafidah sama dalam pengartian menurut istilah ilmu hadits yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat mutawatir. Sedangakan batasan tersebut, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan diriwayatkan tidak lebih dari tiga perawi dan bila lebih dari tiga maka belum mencapai batasan mutawatir
 Hadits aziz
Aziz sendiri menurut bahasa yang berarti yang mulai atau yang jarang juga berarti jarang. Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
 Hadits gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberi batasan bahwa hadits gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalah salah satu thabaqahnya.
BAB VI KLASIFIKASI HADITS; HADITS SHOHIH DAN KEHUJJAHANNYA
Pengertian hadis shahih : hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabit dari rawi lain yang (juga) adil dan dlabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
Hadis shahih harus memenuhi persyaratan yang dibagi menjadi dua hal, yaitu mengenai sanad dan mengenai matan. Mengenai sanad syaratnya adalah sebagai berikut:
 Persambungan sanad baik langsung maupun secara hukum.
 Keadilan para perawi, adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.
 Para perawi bersifat dhabith, artinya para perawi itu mempunyai daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna.
 Tidak terjadi kejanggalan (syadz), maksudnya syadz di sini adalah periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.
 Tidak terjadi illat, . suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut, seperti pemalsuan rawi.
Mengenai matan syaratnya sebagai berikut:
 Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat Al-Qur’an atau hadis mutawatir walau keadaan rawi sudah memenuhi syarat.
 Pengertian dalam matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijma’) ulama, atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan secara sepakat oleh para ilmuwan.
 Tidak ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadis yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya.
Macam-macam hadis ada dua, yaitu:
a. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi kriteria hadis shahih sebagaimana definisi dan keterangan di atas
b. Shahih lighayrih (shahih karena yang lain), yaitu hadis hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.
Beberapa pendapat para ulama yang memperkuat kehujjahan hadis shahih ini diantaranya sebagai berikut:
a. Hadis shahih memberi faedah qath’i (pasti kebenarannya) jika terdapat di dalam kitab Shahihayn (Al-Bukhari dan Muslim).
b. Wajib menerima hadis shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang mengamalkannya, pendapat Al-Qasimi dalam qawa’id at-tahdits.
Semua ulama sepakat menerima hadis shahih mutawatir sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak maupun dalam bidang akidah. Siapa saja yang menolak hadis shahih mutawatir dipandang kafir.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan sebagai berikut:
 Muttafaq ‘alayh, yaitu hadis yang disepakati keshahihannya atau diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
 Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja.
 Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim saja.
 Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
 Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukahri saja.
 Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
 Hadis yang dinilai shahih menurut ulama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
BAB VII KLASIFIKASI HADITS; HASAN DAN KEHUJJAHANNYA
Menurut sejarah, ulama yang memunculkan istilah hasan menjadi hadits yang berdiri sendiri adalah Imam At-Turmidzi. Beliau mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut :
“Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matanya tidak terdapat kejanggalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya”.
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya berbeda. Syaratnya adalah :
 Sanadnya bersambung.
 Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih.
 Dlobith.
 Tidak ada illat.
 Tidak ada syadz.
Hadits hasan terbagi menjadi 2 bagian, hasan lidzatih dan hasan lighoirih. Hasan lidzatih ini mendekati hadits shohih, tetapi berada di bawah tingkatannya berdasarkan ingatan perawinya. Adapun batasan hasan lighairih adalah: hadits yang didalamnya isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau ketidak layakannya. Namun ia bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh dusta. Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahid.
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shohih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadits hasan ini, baik hasan lidzatih maupun hasan lighairih ke dalam kelompok shahih. Seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan hadits berdasarkan perbedaan kualitas, hadits hasan lidzatihi dengan lighairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadits-hadits tersebut berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq’alaihi dan seterusnya.
BAB VIII KLASIFIKASI HADITS; DLO’IF DAN KEHUJJAHANNYA
Hadits Dlo’if adalah bagian dari hadits Mardud. Dari segi bahasa, dlo’if berarti lemah lawan dari qowiy yang berarti kuat. Kelemahan hadits ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujjah. Dalam istilah, hadits dlo’if berarti : “Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shohih dan hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi”.
Hukum meriwayatkan hadits ini adalah boleh dengan syarat :
- Tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah.
- Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal haram, tetapi berkaitan dengan masalah mau’idhah, targhib wa tarhib, kisah-kisah dan lain-lain.
Dalam meriwayatkannya, jika tanpa sanad sebaiknya tanpa menggunakan bentuk kata aktif yang meyakinkan kebenarannya dari Nabi, melainkan cukup dengan bentuk pasif yang meragukan.
Sedangkan pengamalannya terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
a. Tidak dapat diamalakan secara mutlak, baik dalam keutamaan beramal atau hukum.
b. Dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan beramal atau hukum.
c. Dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan beramal, mau’idhah, targhib wa tarhib jika memenuhi persyaratan berikut :
- Tak terlalu dlo’if
- Masuk dalam kategori hadits yang bisa diamalkan.
- Tidak diyakini kebenarannya dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata.
BAB IX KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN PERKEMBANGAN SANADNYA
I. Dari segi perkembangan sanad, hadits terbagi menjadi 2 bagian, muttashil dan munqathi’.
 Hadis Muttashil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.
 Kata inqita’ adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Mennurut Al-Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr hadits Munqathi’ adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.
II. Berdasarkan ujung sanad, hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
 Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW.
 Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
 Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus).
III. Berdasarkan keutuhan rantai sanad, hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
 Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
 Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
 Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
 Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.
BAB X KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KEUTUHAN SANAD
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Contoh sanad hadits :
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah : keutuhan sanadnya, jumlahnya dan perawi akhirnya.
Berdasarkan klasifikasi keutuhan lapisan sanad, hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
2. Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW.
Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits mardud (tertolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya.
Pendapat lain mengatakan bahwa hadits mursal adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini masyhur dalam madzhab Malik, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadits-hadits mursal para tabi’in senior dapat diterima apabila terdapat hadits mursal dari jalur lain, atau dibantu dengan perkataan shahabat (qaulush-shahaby).
3. Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
4. Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
5. Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.
BAB XI INGKAR SUNNAH
Ingkar sunnah adalah suatu ajaran yang berpendirian bahwa orang yang menolak dan mengingkari eksistensi hadits. Sedangkan maksud dari pengingkar hadits adalah orang-orang yang tidak mengakui hadits sebagai sumber hukum Islam selain Al-Qur’an dan mereka merasa cukup dengan Al-Qur’an saja.
Yang dimaksud dengan pengingkaran terhadap kehujjahan sunnah ialah pengingkaran karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah itu, yang menyangkut kemungkinan para perawinya melakukan kesalahan atau kelalaian, atau muncul dari kalangan mereka para pemalsu atau pembohong.
Imam Syafi’i di dalam kitabnya Ar-Risalah mengemukakan pendapatnya, yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Madkhal, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kedudukan Rasulullah di dalam agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah menjelaskan pula kedudukan Rasulullah itu terhadap agamanya, sehingga diketahui kewajiban menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya.
Beberapa diantara penyebab ingkar sunnah adalah :
a. Membenci Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sebagai penutup Nabi dan Rasul. Hal ini berawal dari kaum Yahudi yang tidak senang dengan beliau.
b. Agar manusia bebas berpikir dan menuruti hawa nafsunya dengan bebas, tidak terikat dengan as-sunnah.
c. Karena bodoh dan tidak mau menuntut ilmu kepada ahlinya.
d. Memusuhi Islam dengan menghasud mereka secara halus karena tidak mungkin pembela Islam membenci as-sunnah.
e. Memecah belah persatuan Kaum Muslimin. Karena jika Al-Qur’an ditafsirkan dengan as-sunnah dan pemahaman sahabat radliyallahu ‘anhum, kaum Muslimin menjadi kuat.
Diantara kelompok-kelompok yang menentangnya adalah :
 Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari pasukan sayyidina ‘Ali bin abi Thalib radliyallahu anh dan tidak juga membantu musuhnya. Akan tetapi, tidak semua dari mereka yang menentang hadits.
 Kelompok lainnya adalah Syiah, mereka menganggap diri mereka sebagai pengikut sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib (sebenarnya mereka telah keluar dari jalur Islam). Mereka juga menganggap kafir seluruh sahabat Nabi, kecuali beberapa saja. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil hadits dari sahabat Nabi yang mereka yakini keislamannya.
 Mu’tazilah. Mu’tazilah mendasari pemikirannya dengan akal dan nalar saja. Oleh sebab itu, Mu’tazilah banyak menolak hadits-hadits yang sekiranya bertentangan dengan akal pikiran mereka, walaupun tidak semuanya.
BAB XII HADITS DAN ORIENTALIS
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadits memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadits yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadits adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena hadits hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari Allah yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Tiga hal yang sering mereka kemukakan dalam penelitian mereka terhadap hadits adalah :
 Tentang para perawi hadits. Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah.
 Kepribadian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadits dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
 Metode pengklasifikasian hadits. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
 Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadits, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadits.
 Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadits. Teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang).
 Melecehkan Ulama Hadits. Meereka melecehkan kredibilitas ulama Hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa artikel yang saya sajikan menarik? Berikan komentar anda.