A

Rabu, 07 April 2010

Hadits Menurut Kuantitas

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Sebagaimana diketahui, bahwa hadis Nabi SAW dapat sampai kepada kita melalui jalur periwayatan. Periwayatan yang diawali dari para sahabat, tabi’in hingga perawi terakhir dan kemudian hadis tersebut dibukukan dan dapat kita baca teks – teksnya. Dalam proses periwayatan itu, ada hadits – hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan ada pula yang diriwayatkan oleh satu sahabat. Sebuah hadis terkadang memiliki banyak perawi, ada pula yang memiliki satu atau dua perawi.
Banyak sedikitnya perawi terkadang berpengaruh dalam menentukan kualitas sebuah hadits. Sebagaimana pernah kita singgung, bahwa hadits memiliki banyak sanad yang kualitasnya lebih kuat dari pada hadits yang hanya memiliki satu sanad. Kaitannya dengan kuantitas atau sedikit banyaknya jumlah perawi, para ulama membagi hadits Nabi menjadi dua bagian, yakni Mutawatir dan Ahad.



2. Rumusan masalah
Apakah pengertian dan macam dari hadits Mutawatir dan hadits Ahad?

3. Tujuan
Kita dapat memahami pengertian dan macam dari hadits Mutawatir dan hadits Ahad.


BAB II
PEMBAHASAN
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang telah menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir,masyhur, dan ahad. Ada juga yang membagi dua, yakni hadits mutawatir dan ahad.
Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadis ahad dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah(305-370H). Adapun ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadis ahad, itulah sebabnya mereka membagi hadis menjadi dua bagian.
a. Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriring – iringan antara satu dengan yang lainnya tanpa ada jarak.
Sedangkan menurut istilah, hadits mutawatir adalah suatu hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan. Hadis mutawatir memberi faedah ilmu dharuri atau yakin, dan wajib diamalkan. Artinya suatu keharusan seseorang untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadia mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qath’i(pasti).
Suatu hadits dapat dikatakan sebagai mutawwatir jika hadits tersebut memenuhi tiga syarat yaitu:
1. Hadits yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya yang bisa dilihat oleh mata atau sabdanya yang bisa didengar oleh telinga.
2. Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadits) itu haruslah mencapai jumlah yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Tentang berapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, sebagia menetapkan dua belas rawi, sebagian yang lain menetapkan dua puluh, empat puluh sampai tujuh puluh rawi.
3. Jumlah rawi tiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal yang telah ditetapkan pada syarat kedua.

Tetapi ada juga dari pendapat lain yang mengatakan bahwa hadits mutawwatir haruslah memiliki empat kriteria sebagai berikut:
1. Diriwayatkan sejumah orang banyak,
2. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan,
3. Mustahil bersepakat berbohong,
4. Sandaran berita itu berdasarkan panca indera.
Macam – macam hadits Mutawatir:
1. Mutawatir lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi ialah hadits mutawatir yang lafal dan makna haditsnya sama atau hampir bersamaan.
Mutawatir lafdhi tidak diartikan mesti lafalnya yang sama persis dari satu perawi dengan perawi yang lain, mungkin lafalnya berbeda tetapi satu makna dalam hukum dan makna yang ditunjuk jelas dan tegas.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Thahir Al-Jaza’iri dalam kitabnya Tawjih An-Nadzar yang dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy disebut definisi mutawatir lafdhi adalah Hadits yang sesuai lafal para perawinya, baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
Contoh mutawatir lafdhi:
Artinya: Barang siapa yang mendustakan atas namaku, maka hendakalah bersiap – siap bertempat tinggal di neraka.
(HR. Al-Bukhari, Muslim,Ahmad,At-Tirmidzi,An-Nasa’I, dan Abu Dawud).
2. Mutawatir Maknawi
Mutawatir maknawi adalah beberapa hadits yang bias jadi riwayatnya tidak mutawatir namun jika riwayat – riwayat tersebut dikumpulkan terdapat satu makna yang sama. Artinya, hadits tersebut memiliki lafal serta maknanya berlain – lainan, tetapi dapat ditarik suatu kesimpulan atau suatu pengertian yang bersifat umum.
Contohnya Nabi SAW, berdoa dengan mengangkat tangan. Banyak hadits yang menceritakan hal demikian, namun jika ditinjau satu persatu maka lafal dan maknanya berbeda nilainya. Dari hadits tersebut dapat diambil suatu pengertian dengan jalan induksi bahwa Nabi SAW berdoa dengan mengangkat tangan. Contoh dari hadits maknawi ini adalah yang artinya:
“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali doa memohon hujan. (Hadits riwayat Mutafaq ‘alaih)”


3. Mutawatir ‘amali
Perbuatan dan pengalaman syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi SAW secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti olah para sahabat adalah mutawatir ‘amali, sebagaimana yang didefinisikan sebagian ulama sebagai berikut :
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi SAW mengerjakannya atau menyuruhnya dan selain itu.
Contohnya adalah berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan raka’atnya, shalat jenazah, zakat, haji yang telah menjadi ijma’ para ulama. Semuanya terbuka dan disaksikan oleh para sahabat kemudian diriwayatkan secara terbuka oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa.
Seperti yang telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk hadits mutawwatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawwatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan adalah berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan dan persetujuan dari Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadits mutawwatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah, adalah panuh dengan kata lain kepastiannyaintu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadits mutawwatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawwatir sebagai sumber ajaran Islamsama halnya menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawwatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits Ahad.

b. Hadits Ahad
Yang dimaksud hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadits mutawatir.
Menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadits mutawatir.
Hadits ahad memberi faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat kredibelitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak karena harus diketahui juga maqbul atau mardudnya. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam artian maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa apakah hadits tersebut maqbul atau mardud. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktikadkan dan tidak dapat pula kita amalkan.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu shahih atau hasan, hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka kita menyebut hadits itu muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tidak mungkin dikumpulkan, tetapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalakan, kita pandang mansuhk, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Macam – macam hadits ahad:
a. Hadits masyhur (Hadits mustafidah)
Hadits masyhur menurut bahasa berarti sudah tersebar atau sudah populer. Mustafidah menurut bahasa berarti sudah tersebar atau sudah tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa, para ulama juga memandang hadits masyhur atau mustafidah sama dalam pengartian menurut istilah ilmu hadits yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat mutawatir. Sedangakan batasan tersebut, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan diriwayatkan tidak lebih dari tiga perawi dan bila lebih dari tiga maka belum mencapai batasan mutawatir.
Artinya hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat, namun bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka. Contoh dari hadits masyhur adalah yang artinya:
“Rasulullah bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannuya.”(Hadits riwayat Bukhari, Muslim dan Turmudzi)”
b. Hadits aziz
Aziz sendiri menurut bahasa yang berarti yang mulai atau yang jarang juga berarti jarang. Para ulama memberi batasan bahwa hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini adalah definisi ibn Shalah dan diikuti pula oleh imam Nawawi. Hadits riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Berdasarkan batasan diatas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi, maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits aziz. Contoh dari hadits azizi adalah yang artinya:
“Rasulullah bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu (di hari kiamat).”(Hadits riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)”
c. Hadits gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberi batasan bahwa hadits gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalah salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan – akan terasing dari yang lainnya, atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadit shanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits yang gharib. Contoh dari hadits gharib adalah yang artinya:
“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain)”
Bila hadits mutawwatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian dengan hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW dan mungkin pula tidak benar berasal dari Rasul.
Karena hadits ahad itu tidak pasti (ghairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zanni dan mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah hadits mutawwatir. Lain arti bila suatu hadits bertentangan isinya dengan hadits mutawwatir, maka hadits itu harus ditolak.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dari hadits pembahasan diatas adalah dimana hadits mutawatir merupakan sekumpulan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah tiap tingkatannya. Syarat dari hadits mutawatir adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan haruslah dapat ditangkap oleh panca indera.
2. Diriwayatkan sejumlah rawi yang banyak
3. Adanya jumlah yang sama banyak tiap tingkatan menunrut kebiasaan
4. Mustahil bersepakat bohong.
Sedangkan pada hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadits mutawatir.

DAFTAR PUSTAKA
• Smeer,Zeid B.2008.Ulumul Hadits.Malang:UIN-Malang.
• Khon,Abdul Majid.2008.Ulumul Hadis.Jakarta:Sinar Grafika.
• Anwar,Moh.1981.Ilmu Mushthalah hadits.Surabaya:Usaha Offset Printing.
• Mudasir.1999.Ilmu hadis.Bandung:Pustaka Setia.
• rud1.cybermq.com/post/detail/2237/klasifikasi-hadis
• hitsuke.blogspot.com/2009/07/klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html
• susiyanto.wordpress.com/2008/03/13/klasifikasi-hadis-1/
• albuny.multiply.com/journal/item/8/mengerti_hadist_mutawatir
• khairuddinhsb.blog.plasa.com/category/ulumul-hadits

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa artikel yang saya sajikan menarik? Berikan komentar anda.